Selasa, 07 Juni 2016

Makalah Shalat Dhuha

SHALAT DHUHA
Mata Kuliah: Media Pembelajaran
Dosen Mata kuliah : Dr. Siti Zulaikha, M.Pd.I


Disusun Oleh:
Laeli Lutfiyani

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMAISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Shalat merupakan rukun islam yang kedua . shalat juga merupakan ibadah yang teramat penting bagi muslim dan tidak boleh diabaikan begitu sajameski dalam keadaan seperi apapun. Rasulullah mengibaratkan shalat sebagai tiang agama. Tanpa ada tiang maka bangunan akan roboh. Tanpa shalat agama akan runtuh.oleh karena sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk selalu mengerjakan shalat. Bila tidak bisa tata caranya maka dia wajib mempelajarinya.
Shalat sesuai dengan hukumnya terdiri dari dua kategori yang pertama wajib yaitu shalat 5 waktu dan yang kedua sunah. Diantara shalat-shalat yang disunahkan adalah shalat rawatib, shalat tahajud, shalat tasbih,shalat dhuha dan lain sebagainya.
Didalam Surah Adh-Dhuha Allah swt bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam:“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi.” (QS. 93:1-2). Pernahkah terlintas dalam benak kita mengapa Allah swt sampai bersumpah pada kedua waktu itu?. Beberapa ahli tafsir berpendapat bahwa kedua waktu itu adalah waktu yang paling utama dalam setiap harinya. Dari dalil tersebut ada sedikit keinginan penulis untuk lebih memahami tentang shalat dhuha. Oleh sebaba itu dalam makalh ini penulis akan membahas tentang shalat dhuha.

B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang dan uraian di atas bisa penulisambil kesimpulan tentang rumusan masalah yang akan penulisbahas dalam makalah ini :
1.      Apa Pengertian  dari Shalat Dhuha?
2.      Apa hukum melaksanakan shalat dhuha?
3.      Kapan kita dapat melaksanakan shalt dhuha?
4.      Apa manfaat dan hikmah yang terkandung dalam shalat dhuha?

C.      Tujuan
Dengan adanya rumusan masalah di atas maka penulisan makalah ini mempunyai dua tujuan, yaitu tuuan secara umum dan tujuan secara khusus :
Tujuan secara Umum
Tujuan secara Umum adalah tujuan yang nantinya kembali pada semua obyek yang ada. Diantara tujuan Umumnya adalah agar semua pembaca, teman-teman, atau pun semua pihak yang membaca  makalah ini bisa memetik hikmah yang terkandung dalam bahasan ini bagi dan dapat memberikan dorongan bagi kita semua untuk melaksanakan shalat dhuha.
Tujuan Secara Khusus
Tujuan secara khusus adalah untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah bahasa Indonesia



BAB II
TEORI DAN ANALISIS
A.     Pengertian Shalat Dhuha
Shalat Dhuha merupakanshalat sunah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW, sebab beliau berpesan kepada para sahabatnya untuk mengerjakan Shalat Dhuha sekaligus menjadikannya sebagai wasiat. Wasiat yang diberikan Rasulullah SAW.kepada satu orang berlaku untuk seluruh umat, kecuali terdapat dalil yang menunjukan kekhususan hukumnya bagi orang tersebut.banyak pendapat mengenai shalat dhuha diantaranya adalah:
Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dilakukan setelah terbit matahari sampai menjelang masuk waktu zhuhur. Afdhalnya dilakukan pada pagi hari disaat matahari sedang naik ( kira-kira jam 7.00 pagi). Shalat Dhuha lebih dikenal dengan shalat sunah untuk memohon rizki dari Allah, berdasarkan hadits Nabi : " Allah berfirman : Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang ( Shalat Dhuha ) niscaya pasti akan Aku cukupkan kebutuhanmu pada akhir harinya " ( HR.Hakim dan Thabrani).
Shalat Dhuha adalah shalat sunat yang dikerjakan pada waktu pagi hari, diwaktu matahari sedang naik. Sekurang-kurangnya shalat ini dua rakaat, boleh empat rakaat, delapan rakaat dan dua belas rakaat ( Imran, 2006)
Shalat Dhuha adalah shalat sunnat yang dilakukan seorang muslim ketika waktu dhuha. Waktu dhuha adalah waktu ketika matahari mulai naik kurang lebih 7 hasta sejak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) hingga waktu dzuhur. Jumlah raka’at shalat dhuha bisa dengan 2,4,8 atau 12 raka’at. Dan dilakukan dalam satuan 2 raka’at sekali salam.(Rifa’i, 1993).
Menurut wawan setiawan Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dilakukan setelah terbit matahari sampai menjelang masuk waktu zhuhur. Afdhalnya dilakukan pada pagi hari disaat matahari sedang naik ( kira-kira jam 7.00 pagi). Shalat Dhuha lebih dikenal dengan shalat sunah untuk memohon rizki dari Allah, berdasarkan hadits Nabi : " Allah berfirman : Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang ( Shalat Dhuha ) niscaya pasti akan Aku cukupkan kebutuhanmu pada akhir harinya " ( HR.Hakim dan Thabrani ).
Berdasarkan berbagai definisi tentang shalat dhuha diatas dapat penulis simpulkan bahwa shalat dhuha adalah shalat sunnah yang dilakukan denga jumlah rakaat minimal dua rakaat dan maksimal 12 rakaat yang dikerjakan setelah matahari terbit hingga menjelang masuk waktu dzuhur.

B.      Hukum Shalat Dhuha
Berkaitan dengan persoalan status hukum Shalat Dhuha. Al-Qur’an sendiri sebenarnya tidak mengemukakan secara eksplisit perintah atau anjuran yang tegas atau jelas berkenaan dengan pelaksanaan shalat tersebut. Ada beberapa kata dhuha yang bisa kita temukan dalam Al-Qur’an, tetapi kata-kata itu tampaknya tidak berkaitan dengan penetapan hukum shalat Dhuha. Oleh karena itu, secara eksplisit kita dapat menemukan dasar hukum yang tegas dan gelas dalam Al-Qur’an berkenaan dengan shalat Dhuha tersebut. Namun, hal itu tidak mengurangi arti penting dalam shalat Dhuha. Karena penjelasan yang tegas tenteng anjuran pengamalan shalat Dhuha ini dapat kita temukan dalam beberapa hadist. Berdasarkan hadist-hadist itulah kita dapat memberi pertimbangan status dasar hukum shalat Dhuha.
Secara umum, status hukum shalat Dhuha, berdasarkan banyak hadist yang berkaitan, adalah sunah. Beberapa hadist berikut dapat dijadikan sandaran status hukum shalat Dhuha. Kesunahan shalat Dhuha berdasarkan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sebagai berikut :
“Kekasihku Rasulullah SAW. Mewasiatkan kepadaku tiga hal, yaitu puasa tiga hari, dua rakaat shalat Dhuha, dan shalat Witir sebelum tidur.” ( HR.Bukhari Muslim)
Dalam hadist lain yang senada juga dikabarkan bagaimana siti Aisyah meneladani ketekunan Rasulullah SAW, dalam melakukan shalat Dhuha.Aisyah berkata, “setiap kali aku melihat Rasulullah SAW, melakukan shalat Dhuha, aku pun pasti melaksanakannya.” ( HR. Bukhari Muslim).
Hadist-hadist mengenai shalat Dhuha yang dikemukakan di atas tidak sekedar menunjukan suatu hukum shalat Dhuha sebagai amalan sunah, melain juga mengabarkan bagaimana para sahabat menunjukan kecintaan mereka terhadap amalan itu.
Menurut Imam Nawawi dalam Alim (2008 : 44) bahwa, shalat Dhuha adalah sunnah mu’akad ( sangat dianjurkan ). Dengan kata lain, shalat Dhuha adalah shalat sunah istimewa sehingga kita dianjurkan untuk tidak melalaikannya sebagaimana kita diwajibkan untuk tidak melalaikan pelaksanaan shalat-shalat wajib.
Dengan melihat berbagai hukum diatas dapat  diketahui bahwa status hukum shalat Dhuha memang hanya sebagai amalan sunah. Namun,hal kehendaknya tidak dimengerti bahwa ia hanya amalan sunah yang tidak wajib dilaksanakan, melainkan ia adalah amalan shalat sunah yang kedudukannnya mendekati kedudukan amalan shalat wajib.
C.      Waktu Shalat Dhuha
Menurut Quraisy Syihab dalam Alim (2008 : 16), bahwa waktu Dhuha adalah waktu ketika matahari mulai merayap naik meninggalkan tempat dri terbitnya, hingga ia tampak membayang sampai mejelang tengah hari. Ar-Rahbawi (2001 : 307) menjelaskan, bahwawaktu shalat Dhuha dimulai sejak matahari sudah naik kira-kira sepenggalah sampai dengan tergelincir, tetapi yang paling utama dikerjakan sesudah lewat seperempat siang hari. Hal ini didasarkan pada hadist dari Zaid bin Arqam, sebagai berikut : “Shalat awwabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah SWT. Atau beratubat) adalah ketika anak unta mulai kepanasan.” (HR.Ahmad, Muslim, dan Timidzi).
Shalat Dhuha tidak bisa dilakukan disaat matahari sedang terbit, karena disat itu kaum muslimin dilarang melakukan shalat apapun. Oleh karena itu, agar waktu pelaksanaan shalat Dhuha tidak terlalu berdekatan dengan saat-saat yang dilarangnya pelaksanaan shalat, waktu yang paling utama untuk melaksanakannya adalah ketika matahari terasa mulai panas atau ketika matahari cukup tinggi di sebelah timur atau matahari berada sekitar satu tombak, menjelang siang. Hal ini berdasarkan hadist dari Sa’id bin Nafi” sebagai berikut : “janganlah kalian shalat pada saat matahari terbit karena sesungguhnya ia terbit di antara kedua tanduk setan.” (HR. Ahmad).
Berikut ini keterangan dari Rasulullah SAW. Yang juga bisa dijadikan dasar dalam penentuan waktu pelaksanaan shalat Dhuha.
Ali bin Abu Thalib ra. Berkata, “Rasulullah SAW.shalat Dhuha pada saat (ketinggian) matahari di sebelah timur sama dengan ketinggiannya pada waktu shalat Ashar di sebelah barat.”(HR.Ahmad). Keterangan Ali bin Abi Thalib ini bisa menjadi salah satu penjelasan tentang tanda-tanda masuknya waktu Dhuha dan kapan shalat huha itu bisa dimulai. Dalam hadist itu di kemukakan bahwa shalat Dhuha dapat dilakukan ketika ketinggian matahari yang mulai terbit pada pagi hari di sebelah timur sama dengan ketinggian matahari yang mulai terbenam pada sore hari di sebelah barat ketika masuk waktu Azhar.
Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa waktu shalat Dhuha dimulai ketika matahari mulai naik sepenggalah atau setelah terbit matahari (sekitar jam 07.00 sampai sebelum masuk waktu Dzuhur ketika matahari belum naik sampai posisi tengah-tengah. Namun, lebih baik apabila dikerjakan setelah matahari terik.

D.     Keutamaan Shalat Dhuha
Mengerjakan Shalat Dhuha dan menekuninya adalah merupakan salah satu perbuatan agung, mulia, dan utama. Oleh karena itulah, shalat Dhuha sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW).Beberapa keutamaan dalam shalat Dhuha adalah sebagai berikut :
Shalat Dhuha memiliki nilai seperti nilai amalan sedekahyang diperlukan oleh 360 persendian tubuh dan orang-orang yang melaksanakannya akan memperoleh ganjaran pahala sebanyak jumlah persendian itu. Rasulullah SAW. Bersabdah :
“pada setiap tubuh manusia diciptakan 360 persendian dan seharusnya orang bersangkuta (pemilik sendi) bersedekah untuk setiap sandinya.lalu para sahabat bertanya : ‘ya Rasulullah SAW., siapa yang sanggup melaksanakannya ?’ Rasulullah SAW. Menjawab : Membersihakan kotoran di masjid atau menyingkirkan sesuatu (yang mencelakakan orang) dari jalan raya. Apabila ia tdk mampu, shalat dua raka’at dapat menggantikanya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
    Shalat Dhuha seseorang diawal hari menjanjikan tercukupinya kebutuhan orang tersebut diakhir hari.
    Shalat Dhuha bisa membuat orang yang melaksanakannya (atas izizn Allah SWT.) meraih keuntungan (ghanimah) dengan cepet.
    Orang yang bersedia meluangkan waktunya untuk melaksanakan shalat Dhuha delapan sampai dua belas rakaat akan diberi ganjaran oleh Allah SWT. Berupa sebuah rumah indah yang terbuat dari emas kelak di akhirat.
    Orang yang melaksankan shalat Dhuha mendapatkan pahala sebesar pahala haji dan umrah.
    Shalat Dhuha akan menggugurkan dosa-dosa orang yang senang melakukannya walaupun dosanya itu sebanyak buih di lautan.
    Keutamaan lain yang disediakan Allah SWT. Bagi Orang yang merutininkan shalat Dhuha adalah bahwa akan dibuatkan pintu khusus di surga kelak, yaitu pintu yang dinamakan pintu Dhuha.

E.      Hikmah Shalat Dhuha
Orang yang melakukan shalat Dhuha, maka hati menjadi tenang dalam melakukan aktivitas bekerja, kita seringkali mendapat tekanan dan terlibat persaingan usaha tyang sangat tinggi. Akhirnya, pikiran menjadi kalut, hati tidak tenang, dan emosi tidak stabil. Oleh karena itu, pada saat itulah Shalat Dhuha sangat berperan penting. Meskipun dilaksanakan lima atau sepuluh menit, Shalat Dhuha mampu menyegarkan  pikiran, menyenangkan hati, dan mengontrol emosi.
Dapat meningkatkan kecerdasan Shalat Dhuha memang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan seseorang. Utamakan kecerdasan fiksikal, emosional spiritual, dan intelektual. Hal ini mengingat waktu pelaksanaanya pada awal atau tengah aktivitas manusian mencari kebahagiaan hidup duniawi dan keajaiban gerakan shalat itu sendiri. Untuk kecerdasan fisikal, shalat Dhuha meningkatkan kekebalan tubuh dan kebugaran fisik karena dilakukan pada pagi hari ketika sinar matahari pagi masih baik untuk kesehatan. Untuk kecerdasan emossional spiritual, dalam beraktivitas kita sering kali mengalami kegagalan, karena itu kita sering mengeluh. Melaksanakan shalat Dhuha pada pagi hari sebelum beraktivitas dapat menghindarkan diri dari keluh kesah. Selain itu jika shalat Dhuha dilakukan secara rutin, keuntungan yang didapat adalah mudahnya meraih prestasi akademik dak kesuksesan dalam hidup.
   Kesehatan fisik terjaga, Hal ini dapat dilihat dari tiga alasan, yaitu : pertama, Shalat Dhuha dikerjakan ketika matahari mulai menampakan sinarnya. Sinar matahari pagi hari sangat baik untuk kesehatan. Pada waktu kondusif ini merupakan waktu terbaik untuk ber-muwajjahah (menghadap) kepada Allah SWT.
   Kedua, sebelum shalat Dhuha,kita diwajibkan bersuci (mandi atau pun wudhu). Selain sebagai syarat sahnya shalat,berwudhu bermanfaatbagi kesehatan jasmani dan rohani seseorang, sebab, wudhu menyimbolkan agar kita selalu tetap bersih.
   Ketiga, Rangkaian gerakan shalat sarat akan hikmah dan manfaat bagi kesehatan. Syaratnya, semua gerakan tersebut dilkukan dengan benar, tuma’ninah (perlahan dan tidak terburu-buru), dan istiqomah (konsisten atau terus-menerus).
Allah memerintahkan kita bukan semata-mata hanya sesuatu yang tak berguna namun setiap apa yang Allah perintahkan pasti mengandung hikmah tersendiri,seperti halnya shalat dhuha yang begitu banyak keutamaan dan hikmahnya. Namun tidak semua orang mampu merasakan hikmah tersebut jika pelaksanaanya tidak sesuai aturan hukum islam.






BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Shalat sunnah disyariatkan kepada umat islam, tak lain agar orang mukmin semakin dekat kepada Allah, karena ia merupakan salah satu dari pemberian Tuhan yang sangat besar Nilainya. Diantara shalat-shalat sunnah yang disyariatkan dalam islam adalah shalat dhuha, yaitu shalat sunnah yang terdiri dari dua rakaat atau lebih, sebanyak-banyaknya dua belas rakaat, ketika waktu dhuha, yakni ketika waktu naiknya matahari setinggi tombak atau kira-kira jam 7 atau jam 9 hingga tergelincirnya matahari.
B.  Saran
Sebagai umat islam sudah kita ketahui bersama betapa bergunanya untuk kita oleh sebab itu mari kita sama-sama mencoba mengerjakan shplat dhuha dengan istiqomah selama hidup kita






DAFTAR PUSTAKA
Al Mahfani, M. Khalilurrahman, (2008). Berkah Shalat Dhuha. Jakarta: Wahyu Media
Ash-Shiddiegy, Tengku M. Habsyi (2001). Pedoman Shalat. Semarang: Pustaka Rizki
Imran,M.(2006).Penuntun Shalat Dhuha.semarang: Karya Ilmu.
Mujib ElShirazy, Ahmad (2009). Fakta Keajaiban Dibalik Perintah & Larangan Allah. PT. Listafariska Putra.
Musbikin, Imam.(2007).Rahasia Shalat Dhuha, yogyakarta : Mitra Pustaka.
Rifa’i, Moh.(1993).Kumpulan Shalat-Shalat Sunnat. Semarang : CV Toha Putra.
Sabiq, Sayyid. (1993). Fiqih Sunah 2. Terj. Muhyiddin Syaf. Bandung: Al-Ma’arif
Rifa’i m0hammad Drs.(1976). Risalah tuntunan shalat lengkap. Semarang: PT. karya toha putra


Makalah Puasa

PELAKSANAAN PEMBUATAN MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TENTANG PUASA

Mata Kuliah: Media Pembelajaran
Dosen Mata kuliah : Dr. Siti Zulaikha, M.Pd.I



Disusun Oleh:
Laeli Lutfiyani


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMAISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2016



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Puasa adalah rukun Islam yang ketiga. Karena itu setiap orang yang beriman, setiap orang islam yang mukallaf wajib melaksanakannya. Melaksanakan ibadah puasa ini selain untuk mematuhi perintah Allah adalah juga untuk menjadi tangga ke tingkat takwa, karena takwalah dasar keheningan jiwa dan keluruhan budi dan akhlak.
Untuk ini semua, perlu diketahui segala sesuatu yang berkenaan dengan puasa, dari dasar hukum, syarat-syarat, rukun puasanya dan lain sebagainya.
Makalah ini kami sajikan sebagai suatu sumbangan kecil kepada para pembaca untuk maksud tersebut di atas dengan harafan ada faedahnya.
Tegur sapa, kritik dan saran dalam usaha menyempurnakan makalah ini kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah Swt. mengiringi kita semua dengan taufik dan hidayah-Nya. Aamiin.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa dasar hukum pelaksanaan puasa?
2.      Apa saja syarat dan rukunnya?
3.      Apa saja hal-hal yang sunnah dalam berpuasa?
4.      Apa saja yang membatalkannya?










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Puasa
Puasa adalah terjemahan dari Ash-Shiyam. Menurut istilah bahasa berarti menahan diri dari sesuatu dalam pengertian tidak terbatas. Arti ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Maryam ayat 26:
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمنِ صَوْمًا.
“sesungguhnya aku bernazar shaum ( bernazar menahan diri dan berbiacara ).”[1]
            “Saumu” (puasa), menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.
            Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.”[2]
            Menahan diri dari berbicara dahulu disyariatkan dalam agama Bani Israil. Menurut Syara’ (istilah agama Islam) arti puasa adalah sebagaimana tersebut dalam kitab Subulus Salam. Yaitu :
اَلْإِمْسَاكُ عَنِ اْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالْجِمَاعِ وَغَيْرِهَا مِمَّا وَرَدَ بِهِ٬ فيِ النَّهَارِ عَلَي الْوَجْهِ الْمَشْرُوْعِ٬ وَيَتْبَعُ ذلِكَ الْإِمْسَاكُ عَنِ الَّلغْوِ وَالرَّفَثِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْكَلَامِ الْمُحَرَّمِ وَالْمَكْرُوْهِ فِي وَقْتٍ مَخْصُوْصٍ٬ بِشَرَا ئِطَ مَخْصُوْصَةٍ۰
“Menahan diri dari makan, minum, jima’ (hubungan seksual) dan lain-lain yang diperintahkan sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan, dan disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan yang diharamkan pada waktu-waktu tertentu dan menurut syarat-syarat yang ditetapkan.[3]
B.     Dasar hukum pelaksanaannya
Puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam yang diwajibkan kepada tiap mukmin. Sebagai dalil atau dasar yang menyatakan bahwa puasa Ramadhan itu ibadat yang diwajibkan Allah kepada tiap mukmin, umat Muhammad Saw., ialah:
a.       Firman Allah Swt., :
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَي الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ۰
Artinya : Wahai mereka yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa (Ramadhan) sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah-183).
b.      Sabda Nabi Saw., :
بُنِيَ اْلإِسْلَامُ عَلَي خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لآاِلهَ اِلَّا اللهُ٬ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ٬ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ٬ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ٬ وَصَوْمِ رَمَضَانَ٬ وَحَجِّ الْبَيْتِ۰
“Didirikan Islam atas lima sendi: mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan dan naik haji ke Baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).[4]
            Berdasarkan ketetapan Alquran, ketetapan hadis tersebut, puasa diwajibkan atas umat Islam sebagaimana diwajibkan atas umat yang terdahulu. Ayat itu menerangkan bahwa orang yang berada di tempat dalam keadaan sehat, di waktu bulan Ramadhan, wajib dia berpuasa. Seluruh Ulama Islam sepakat menetapkan bahwasanya puasa, salah satu rukun Islam yang lima, karena itu puasa  di bulan Ramadhan adalah wajib dikerjakan.
            Yang diwajibkan berpuasa itu adalah orang yang beriman (muslim) baik laki-laki maupun perempuan (untuk perempuan suci dari haid dan nifas), berakal, baligh (dewasa), tidak dalam musafir (perjalanan) dan sanggup berpuasa.
Orang yang tidak beriman ada pula yang mengerjakan puasa sekarang dalam rangka terapi pengobatan. Meskipun mereka tidak beriman namun mereka mendapat manfaat juga dari puasanya yaitu manfaat jasmaniah.
Kecuali itu dalam ilmu kesehatan ada orang yang berpuasa untuk kesehatan. Walaupun orang ini berpuasa sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam, namun mereka puasanya tanpa niat ibadah kepada Allah yaitu dengan niat berpuasa esok hari karena Allah dan mengharapkan ridho-Nya, maka puasanya adalah puasa sekulerOrang ini mendapat manfaat jasmaniah, tetapi tidak mendapat manfaat rohaniah.[5]
C.    Memulai Puasa Bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan lamanya sebulan yaitu 29 atau 30 hari, yang dimulai setiap harinya sejak terbit pagi hingga terbenam matahari.[6]
Puasa Ramadhan dimulai dengan salah satu sebab sebagai berikut :
1.      Melihat bulan Ramadhan setelah terbenam matahari pada tanggal  29 (akhir) Sya’ban.
2.      Penetapan Hakim Syar’i akan awal bulan Ramadhan berdasarkan keterangan saksi, sekurang-kurangnya seorang laki-laki, bahwa ia melihat bulan.
3.      Penetapan awal bulan Ramadhan dengan perhitungan ahli hisab (perhitungan) ; a. Apabila bulan tidak terlihat, maka bulan Sya’ban disempurnakan 30 hari. ; b. Keterangan orang yang dapat dipercaya kebenarannya oleh penerima berita, bahwa ia melihat bulan Ramadhan.
4.      Dengan hisab sebagaimana firman Allah. Swt. :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوْرًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَ٬ مَاخَلَقَ اللهُ ذلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ٬ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ۰
Artinya: “Allah yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta diaturnya tempat perjalanan, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan hitungan (hisabnya). Tuhan tidak menjadikan semuanya itu kecuali dengan pasti. Tuhan menerangkan segalanya (tandaan) dengan ayat-ayat-Nya bagi semua orang yang berpengatahuan. (QS. Yunus-5).
Sabda Rasulullah Saw. :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا٬ إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَافْطِرُوْا۰ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ.
  Artinya: “Dari ‘Umar ra., Rasulullah Saw., bersabda : Apabila kamu melihat bulan Ramadhan, hendaklah berpuasa dan apabila kamu melihat bulan Syawal hendaklah kamu berbuka. Maka jika tidak tampak olehmu, maka hendaklah kamu perhitungkanlah jumlahnya hari dalam satu bulan”. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah).[7]
D.    Syarat Puasa
1.      Syarat-syarat wajib berpuasa
a.       Islam
b.      Baligh dan berakal ; anak-anak belumlah diwajibkan berpuasa ; tetapi apabila kuat mengerjakannya, boleh diajak berpuasa sebagai latihan.
c.       Suci dari haid dan nifas (ini tertentu bagi wanita)
d.      Kuasa (ada kekuatan). Kuasa disini artinya, tidak sakit dan bukan yang sudah tua. Orang sakit dan orang tua, mereka ini boleh tidak berpuasa, tetapi wajib membayar fidyah.
2.      Syarat-syarat sahnya puasa
a.       Islam.
b.      Tamyiz.
c.       Suci dari haid dan nifas. Wanita yang sedang haid dan nifas tidak sah jika mereka berpuasa, tetapi wajib qadha pada waktu lain, sebanyak bilangan hari yang ia tinggalkan.
d.      Tidak di dalam hari-hari yang dilarang untuk berpuasa, yaitu diluar bulan Ramadhan[8] ; seperti puasa pada hari Raya Idul Fitri ( 1 Syawal), Idul Adha (10 Zulhijjah), tiga hari tasyrik, yakni hari 11, 12 dan 13 Zulhijjah, hari syak, yakni hari 30 Sya’ban yang tidak terlihat bulan (hilal) pada malamnya.

E.     Rukun Puasa
1.      Niat ; yaitu menyengaja puasa Ramadhan, setelah terbenam matahari hingga sebelum fajar shadiq. Artinya pada malam harinya, dalam hati telah tergerak (berniat), bahwa besok harinya akan mengerjakan puasa wajib Ramadhan. Adapun puasa sunnat, boleh niatnya dilakukan pada pagi harinya.
2.      Meninggalkan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Berdasarkan Firman Allah Ta’ala :

فَالْئنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّي يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوْا الصِّيَامَ إِلَي الَّيْل۰
Artinya: “Maka sekarang, bolehlah kamu mencampuri mereka dan hendaklah kamu mengusahakan apa yang diwajibkan Allah atasmu, dan makan-minumlah hingga nyata garis putih dan garis hitam berupa fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.
            Yang dimaksud dengan garis putih dan garis hitam ialah terangnya siang dan gelapnya malam. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa ‘Adi bin Hatim bercerita : “Tatkala turun ayat yang artinya : “hingga nyata benang putih dari benang hitam berupa fajar” saya ambillah seutas tali hitam dan seutas tali putih, lalu saya taruh dibawah bantal dan saya amat-amati di waktu malam dan ternyata tidak dapat saya bedakan. Maka pagi-pagi saya datang menemui Rasulullah Saw dan saya ceritakan padanya hal itu. Sabda Nabi Saw :
إِنَّمَا ذلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ
Artinya: “Maksudnya ialah gelapnya malam dan terangnya siang”.[9]

F.     Yang membatalkan puasa
1.      Memasukkan sesuatu kedalam lobang rongga badan dengan sengaja, seperti makan, minum, merokok, memasukkan benda ke dalam telinga atau ke dalam hidung hingga melewati pangkal hidungnya. Tetapi jika karena lupa, tiadalah yang demikian itu membatalkan puasa. Suntik di lengan, di paha, di punggung atau lainnya yang serupa, tidak membatalkannya, karena di paha atau punggung bukan berarti melalui lobang rongga badan.
2.      Muntah dengan sengaja; muntah tidak dengan sengaja tidak membatalkannya.
3.      Haid dan nifas; wanita yang haid dan nifas haram mengerjakan puasa, tetapi wajib mengqodha sebanyak hari yang ditinggalkan waktu haid dan nifas.
4.      Jima’ pada siang hari.
5.      Gila walaupun sebentar.
6.      Mabuk atau pingsan sepanjang hari.
7.      Murtad, yakni keluar dari agama Islam.[10]
Perlu diterangkan disini tentang sangsi orang yang jima’ (bercampur) pada siang hari di bulan Ramadhan; Orang yang berjima’ (melakukan hubungan kelamin) pada siang hari bulan Ramadhan, puasanya batal. Selain itu ia wajib membayar denda atau kifarat, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Saw. :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا وَقَعَ بِامْرَأَتِهِ فِي رَمَضَانَ فَاسْتَفْتَي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذلِكَ٬ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً ؟ قَالَ: لَا. وَهَلْ تَسْتَطِيْعُ صِيَامَ شَهْرَيْنِ ؟ قَالَ: لَا. فَأَطْعِمْ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا. (رواه مسلم).
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya seorang laki-laki pernah bercampur dengan istrinya siang hari pada bulan Ramadhan, lalu ia minta fatwa kepada Nabi Saw. : “Adakah engkau mempunyai budak ?. (dimerdekakan). Ia menjwab : Tidak. Nabi berkata lagi : “Kuatkah engkau puasa dua bulan berturut-turut ?”. Ia menjawab : Tidak. Sabda Nabi lagi : “Kalau engkau tidak berpuasa, maka berilah makan orang-orang miskin sebanyak enam puluh orang”. (HR.Muslim). [11]

G.    Hal-hal sunnat dalam berpuasa
1.      Menyegrakan berbuka puasa apabila telah nyata dan yakin bahwa matahari sudah terbenam.
2.      Berbuka dengan kurma, sesuatu yang manis, atau dengan air.
3.      Berdoa sewaktu berbuka puasa.
4.      Makan sahur sesudah tengah malam, dengan maksud supaya menambah kekuatan ketika puasa.
5.      Menta’khirkan makan sahur sampai kira-kira 15 menit sebelum fajar.
6.      Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang puasa.
7.      Hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa.
8.      Memperbanyak membaca Alquran dan mempelajarinya (belajar atau mengajar) karena mengikuti perbuatan Rasulullah Saw.[12]

H.    Puasa sunnat dan macam-macamnya.
Puasa sunnat adalah puasa yang disunnatkan kita melakukannya. Di antara puasa-puasa sunnat ini ialah :
1.      Berpuasa sehari dan berbuka sehari (puasa Nabi Daud)
2.      Puasa enam di bulan Syawal.
3.      Puasa hari Arafah (tanggal 9 bulan haji), kecuali orang yang sedang mengerjakan ibadah haji, maka puasa ini tidak disunnatkan atasnya.
4.      Puasa hari Asyura (hari yang kesepuluh dari bulan Muharram).
5.      Puasa hari senin dan kamis.
6.      Puasa tiga hari pada tiap bulan ; dalam hubungan ini berpuasa pada tanggal 13, 14 dan 15 tiap bulan berpuasa pada hari putih.
7.      Puasa Sya’ban.[13]









BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Puasa adalah terjemahan dari Ash Shiyam. Menurut istilah bahasa berarti menahan diri dari sesuatu dalam pengertian tidak terbatas. “Saumu”(puasa), menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.
Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Berdasarkan ketetapan Alquran surat Al-Baqarah ayat 183 dan ketetapan hadis yang telah disebutkan diatas, puasa diwajibkan atas umat Islam sebagaimana diwajibkan atas umat yang terdahulu. Ayat itu menerangkan bahwa orang yang berada di tempat dalam keadaan sehat, di waktu bulan Ramadhan, wajib dia berpuasa. Seluruh Ulama Islam sepakat menetapkan bahwasanya puasa, salah satu rukun Islam yang lima, karena itu puasa  di bulan Ramadhan adalah wajib dikerjakan.
Yang diwajibkan berpuasa itu adalah orang yang beriman (muslim) baik laki-laki maupun perempuan (untuk perempuan suci dari haid dan nifas), berakal, baligh (dewasa), tidak dalam musafir (perjalanan) dan sanggup berpuasa.
Puasa Ramadhan lamanya sebulan yaitu 29 atau 30 hari, yang dimulai setiap harinya sejak terbit pagi hingga terbenam matahari.










DAFTAR PUSTAKA
Bahreisj, Hussein., 1980. Pedoman Fiqih Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Latif, M. Djamil., 2001. Puasa dan Ibadah Bulan Ramadhan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rifa’i, Moh., 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Rasjid, Sulaiman., 2012. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sabiq, Sayyid., 1993. Fikih Sunnah 3. Bandung: Al-Ma’arif